Rabu, 21 September 2011

CERPEN

CAHAYA UNTUK TIDORE
Cerpen Komang Widana Putra

              Teriakan Narissa menguap begitu saja ke udara. Serupa gugusan embun yang menempeli tetulang daun pepohonan purba sepanjang Oxygen Street. Bunyi klakson dua mobil di belakang punggungnya tak dihiraukannya. Begitu pula dengan udara dingin yang mengepungnya dari segala penjuru. Ia hanya berharap bayangan Tidore yang berjalan di depannya, sekitar seribu langkah, menghentikan tapaknya, menoleh lantas berbalik arah ke selatan mendekati Narissa. Mendekapnya, merasakan degup cinta Narissa yang gemeretak menggigil. Akan tetapi, itu hanya gelembung harapan yang tak mewujudkan diri, malah kian menjangkau langit buram. Lantas pecah tak terperi. Bayangan Tidore semakin jauh, menyelinap di antara flat-flat tua bercat kuning kusam. Suara langkah sepatunya yang yang berat bagai bergema di pendengaran Narissa di tengan pusaran kebisingan klakson mobil yang menyalak kian tak sabar.
              Tubuh Narissa lunglai ke pinggir jalan. Hatinya terpuruk habis. “Kalau ingin mampus, terjun saja ke jurang! Jangan bikin susah orang lain!” teriak kasar seorang lelaki dalam bahasa Inggris beraksen Amerika Selatan dari dalam mobil, ketika melewatinya. Narissa tak menggubris. Setiap lorong pikirannya dipenuhi bangkai-bangkai riwayat yang tidak dikehendakinya. Berhulu dari Narata Cafe, siang tadi. Tidore berulang kali memadamkan pertanyaan yang dinyalakan Narissa di hadapannya dengan menyodorkan keadaan di luar senantiasa gelap, tak ada cahaya alami memendar. Tidore selalu ingin mematikan percakapan.
              “Kau tampak bosan bersamaku,” kata Narissa.
              Tidore tidak mengatakan apa-apa. Dia balas menatap mata Narissa yang biru cemerlang, menggelorakan kehidupan tiada putus-putusnya. Mata yang mampu memerangkap setiap titik cahaya yang menyala di hadapannya. Mata yang tidak bisa didustai. “Aku harus pergi. Jadwal kerjaku di pabrik berubah. Aku shift sore,” Tidore akhirnya berkata sambil menggeser kursi.
              “Kau belum menjawab pertanyaanku,” sela Narissa.
              “Apa?”
              “Kau seperti orang tuli. Aku sudah mengulangnya empat kali. Dan jawabanmu selalu keadaan di luar begitu gelap. Tak ada cahaya ....”
              “Itulah jawabanku.”
              “Itu mirip keluhan bahwa kau harus sendiri sekarang. Mencari cahayamu yang entah bersinar dimana. Kadang aku merasa merepotkan di Pensyl....”
              “Aku yang semestinya mengatakan itu,” potong Tidore cepat, “Kau salah paham.”
              Tidak ada percakapan lagi yang merayap di udara. Mata keduanya saling memandang. Saling menghidangkan pertanyaan dan jawaban melalui tatap mata yang bisu tak berkesudahan.
              “Waktuku habis. Aku harus pergi. Mengertilah.”
              Tidore melangkah ke meja kasir. Membayar bon kemudian menuju pintu kafe. Narissa menengadah ke atas, ke arah kaca besar yang memang sengaja di pasang untuk mengetahui pengunjung yang keluar masuk. Kaca itu juga memantulkan semua yang terjadi di luar, di depan pintu kafe yang terbuat dari kaca bening tembus pandang. Mata Narissa menangkap punggung Tidore yang agak bungkuk. Tidore sekarang mengancingkan jaket jins birunya. Lalu mengeluarkan syal rajutan tangan berwarna nilam dari kantung jaketnya, melilitkannya di lehernya yang kokoh. Ia terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian berpaling ke pintu kafe. Raut wajahnya sedikit kecewa ketika melihat seorang wanita berkulit gelap keluar dari kafe. Narissa seperti merasakan hembusan nafas kekecewaan Tidore yang menerpa kulit wajahnya.
              Sepasang penglihatan Narissa enggan beranjak dari kaca besar yang memerangkap keadaan di luar kafe. Jalan-jalan besar kini penuh pejalan kaki yang menikmati udara musim dingin pertama di Amerika Utara tahun ini. Tubuh mereka dibungkus jaket atau sweeter tebal. Dua anak kecil mengetuk-ngetuk jendela kafe dengan kaleng minuman. Pramusaji kafe melihatnya lantas keluar, menghardik mereka. Terdengar bentakan-bentakan pramusaji itu yang membuat kedua anak kecil itu menyingkir menjauhi kafe. Pramusaji masuk dengan mulut meracau pendek. Narissa masih melihat Tidore berdiri di situ, di depan kafe. Menunggu dalam kebisuannya. Kepalanya berkali-kali menoleh ke belakang dan sesekali ke arah Geminy Street. Wajahnya di persimpangan cemas dan harapan. Tidore mengeluarkan sapu tangan berbahan cita yang bergaris-garis di tepinya. Kemudian mengelap wajahnya yang berair karena disinggahi angin basah. Seorang lelaki muda berparas oriental mendekatinya, berbicara, lantas mengajaknya masuk ke kafe. Tidore menolak. Lelaki itu mengangkat bahu.
              Pandangan Narissa beralih ke segelas jus apel di hadapannya yang belum disentuhnya. Diminumnya sedikit. Tangannya meraih kotak rias dalam tas kerjanya. Memoleskan lipbalm di bibir keringnya, menyapukan bubuk merah perona wajah ke pipinya yang cekung, menyisir sebentar poni rambutnya yang tak terlalu panjang. Ia menungguku, batinnya, Tidore masih menginginkanku.
              Narissa berpaling pada kaca besar yang tergantung. Matanya menangkap Tidore tengah berbicara dengan seorang perempuan keturunan Arab. Percakapan Tidore dan perempuan itu diselingi tawa ringan. Perempuan Arab itu membetulkan kancing jaket Tidore. Membenahi lilitan syal Tidore yang terkesan berantakan. Tidore diam saja, namun kelihatan menikmatinya. Sebelum melangkah ke Geminy Street dengan perempuan itu, mata Tidore sekali lagi menoleh ke pintu kaca bening Narata Cafe. Narissa menemukan sekeping kekecewaan terpahat di wajah Tidore.
              Terlambat.
* * *
              Petang telah memanjang di di Small Park. Bangku-bangku taman besi bercat cokelat muda terletak di bawah pepohonan rindang sudah tidak berpenghuni. Tidak ada siapapun. Kecuali sepasang kakek nenenk yang tengah mencari sesuatu di bawah siraman lampu taman, dekat kolam yang air mancurnya munculnya tak beraturan. Kakek menggerutu sementara nenenk berusaha menenangkannya.
              “Kita cuma duduk di sini saja tadi,” kata kakek itu sambil membenahi kacamatanya yang melorot.
              “Aku pernah ke bangku taman itu sebentar,” nenek berkata sambil menunjuk bangku yang diduduki Narissa, “Waktu kau membeli makanan kecil, Andrew.”
              “Kita cari ke sana saja, Sayang.”
              Keduanya lantas ke arah Narissa. Langkah mereka bergemerisik menginjak tulang-tulang dedaunan yang kering. “Nak, kau melihat kotak kacamata di sini?” tanya kakek setelah dekat.
              Narissa berhenti membaca novel. Kepalanya berpaling pada mereka berdua. “Tidak,” jawabnya pendek.
              Kakek dan nenek itu hampir bersamaan mengatakan terima kasih. Mereka menjauhi Narissa, berjalan ke utara. Terdengar pertengkaran kecil antara mereka berdua yang diterbangkan angin petang. Narissa membaca novel kembali. Baru beberapa paragraf, si nenek sudah berdiri lagi di depannya. “Sungguh kau tidak melihat kotak kacamata di sini?” ia bertanya. Narissa mengangguk pelan. Rasa kecewa memahat wajah keriputnya. “Setengah mati kami mencarinya,” desahnya seakan pada diri sendiri.
              Narissa memperhatikan nenek itu yang sekarang mengorek tempat sampah tak juh dari bangku Narissa. Dahan pohon dipakainya untuk mengorek isi tempat sampah itu. “Sepertinya kotak kacamata itu penting sekali bagi kalian,” ujar Narissa saat nenek itu melewatinya.
              Nenek itu berhenti, menoleh Narissa, tersenyum lalu berkata, “Setiap benda punya pasangan masing-masing, Nak. Layaknya manusia. Begitu juga kacamata suamiku. Ia, suamiku, orang yang peka sekali. Ia tak mau kacamatanya tergeletak begitu saja di meja kerjanya. Sendirian. Kedinginan. Perasaannya sangat peka. Ah, sudahlah. Besok kubelikan kotaknya. Kau sedang apa di sini, Nak? Sendirian dalam udara dingin begini?”
              Narissa memandang liontin kalung yang bergelayut di dada perempuan itu. Berbentuk sepotong bulan. Bercahaya keperakan. “Aku menunggu seseorang,” katanya berterus terang.
              “Kekasihmu?”
              Narissa diam. Tercenung. Kekasih? Apakah dirinya masih menganggap Tidore sebagai kekasihnya semenjak kejadian di Narata Cafe?
              “Jahat sekali dirinya membiarkanmu menunggu lama di sini. Tak berperasaan!” kata si nenek bersungut-sungut, “Andai aku jadi dirimu, Nak, sudah kuputuskan hubungan.”
              Tapi aku mencintainya, batin Narissa.
              “Helen, cepatlah. Kakiku mulai membeku, nih!” teriakan suaminya mengalir samar dari arah pintu pagar Small Park.
              “Sebentar, Sayang,” sahut si nenek kemudian menoleh lagi pada Narissa. “Kunasihatkan padamu, Nak. Ketika seorang lelaki sudah tak memedulikanmua lagi, kau harus secepatnya memutuskan hubungan dengannya. Jangan terlalu berharap penuh pada lelaki seperti itu. Aku pernah mengalaminya. Sebelum berjumpa dengan suamiku yang sekarang, aku telah beberapa kali memutuskan hubungan karena dikecewakan lelaki. Mereka tidak peduli padaku setelah menemukan yang lebih baik. Entah apa kriteria lebih baik itu bagi mereka....”
              Narissa mendengarnya tanpa berkedip.
              “Mulanya aku banyak berharap. Kugantungkan masa depanku pada mereka. Tapi apa yang terjadi? Aku dicampakan seperti kotoran anjing. Sakit hatiku. Dua tahun aku nestapa. Sampai datang suamiku. Ia memberiku semangat dan sebuah kepercayaan diri. Aku beruntung memilih dan memilikinya. Kau tahu berapa umur perkawinan kami sekarang?”
              Narissa menggelengkan kepala.
              Perempuan tua bermata abu-abu itu menarik nafas dalam-dalam seolah mengumpulkan semua kebahagiaan yang tumbuh di dunia ke belahan dadanya, kemudian melanjutkan lagi, “Selasa depan kami merayakan ulang tahun perkawinan keempat puluh tiga.”
              Sebelum berbalik, nenek itu sempat berkata, “Sampaikan salamku jika kekasihmu datang.” Narissa mengangguk.
              “Helen. Demi Tuhan, cepatlah!”
              “Aku datang, Sayang.”
              Nenek itu menyeret kakinya ke arah pintu pagar Small Park, tempat suaminya menunggu. Rambut pirang nenek itu berkilau disepuh cahaya lampu taman. Ia menghilang di balik pohon asam yang berdaun lebat. Pintu pagar ada di belakang pohon itu.
              Narissa memasukkan novel yang tadi dibacanya ke dalam tas tangannya. Tidore berjanji akan pulang cepat dan menemuiku di Small Park, bisiknya memandang air mancur yang muncul di tengah-tengah kolam. Airnya yang putus-putus menyembur ke atas bagai pecahan mutiara yang kini berwarna merah jelata tertimpa cahaya lampu sorot. Tampak jelas seekor kunang-kunang terbang rendah. Sayapnya yang bercahaya keemasan menyala dalam gelap pepohonan.
              “Tidore!” kata Narissa mendengar langkah-langkah kaki mendekat dari arah pintu pagar. Api kebahagiaannya akan berjumpa dengan Tidore laksana terguyur air, padam seketika, melihat orang lain yang datang. Dua orang negro melihat sekeliling dan menemukan Narissa sendirian. Mata mereka kelaparan melihat tubuh perempuan, seperti berabad-abad tidak menyentuhnya. Narissa mendapat firasat buruk saat kedua negro itu mendekatinya dengan langkah sempoyongan.
              “Mengapa sendirian dalam dingin begini, Manis?” kata negro yang berbadan kekar dan memiliki tato ular di lengannya. Kentara sekali ia imigran yang baru mendarat di sini, bahasa Inggrisnya patah-patah.
“Aku menunggu pacarku,” sahut Narissa penuh keberanian menantang mata nanar yang bertato ular itu.
              “Boleh kami temani selagi kau menunggunya?” tanya negro yang satu lagi dengan senyum siap menelan tubuh Narissa. Air liurnya menetes. Menjijikkan sekali. Tangannya mulai mengelus rambut Narissa. Narissa menampiknya dengan kasar. “Shit!”
              Kedua negro itu tertawa lebar. Tampak gigi keduanya tak beraturan. Tercium bau wiski murahan menusuk hidung dari mulut keduanya. Yang bertato mencengkeram pundak Narissa dan temannya berusaha menciumnya membabi buta. Narissa berontak. “Shit! Shit!”
              “Hei!”
              Peristiwa itu terjadi cepat. Hantaman dan tendangan telah mendarat di kedua badan negro itu. Keduanya terjengkang. Kesakitan.
              “Kabur, Rissa!”
              Bergegas Narissa menyambar tas tangannya kemudian berlari bersama Tidore menuju pintu pagar Small Park. Tanpa menoleh ke belakang lagi. Mereka ke arah jalur jalan raya. Sepatu keduanya berdegap menikam malam yang mulai menurunkan tirainya. Keduanya berjalan biasa lagi setelah jauh dari Small Park. Berhenti di tikungan jalan yang lengang dan lapang. Nafas keduanya terengah-engah. “Hampir saja. Kalau aku tidak datang dengan cepat....” kata Tidore memasok nafas sepuasnya ke dalam paru-parunya. Badannya menyandar di tiang penunjuk jalan. Dua pengguana sepeda melintas, menembus kabut yang mulai turun.
“Satu jam aku menunggumu,” kata Narissa tercekat, berbaur kesal, takut dan bahagia. Ia menyeka keringat yang mengaliri lehernya dengan ujung jaketnya.
“Aku menyuruhmu menunggu di Small Park Organ Street. Bukan di Kartz!”
Narissa tergeragap. Memandang mata Tidore yang kharismatik. Memang ada dua Small Park di kota ini. Satu di Kartz Street, yang dimaksud Tidore dan satunya lagi di Organ Street, tempat Narissa menunggu tadi. “Aku tak membaca semua pesanmu di ponselku. Aku terlalu gembira karena kau mau menemuiku,” kata Narissa terbata.
“Perempuan bodoh!”
* * *
              Mereka cukup lama mengelilingi Kinzaza Market, sebuah pasar tradisional satu-satunya yang ada di kota ini. Kinzaza Market hanya buka dari jam enam sore sampai sebelas malam dan sekarang terlihat penuh sebab bertepatan dengan akhir pekan. Kinzaza dilengkapi dengan pusat jajanan yang makanannya sangat beragam. Rumah makan yang menyediakan makanan khas dari berbagai bangsa berderet rapi di sebelah pedistrian Kinzaza.
              Narissa menggaet lengan Tidore, menunjuk rumah makan yang bertuliskan Kedai Indonesia di papan namanya. Tidore mengangguk. Keduanya berjalan ke sana. Rumah makan kelihatan lengang. Hanya ada seorang Indonesia yang tengah menikmati bakso di meja paling tengah. Narissa memilih meja di samping jendela. Keduanya menarik kursi. Gado-gado dan teh hangat, kata Tidore dalam bahasa Indonesia kepada pramusaji yang menghampiri. Dari meja ini keduanya leluasa melihat pemandangan Kinzaza Market. Para pejalan kaki berlalu lalang membunuh waktu. Atau membeli sesuatu. Di kejauhan lalu lintas tak begitu ramai.
              “Kusangka kau tak jadi menemuiku,” kata Narissa pada akhirnya, setelah mereka tenggelam dalam diam beberapa lama.
              “Aku berusaha menepatiku janjiku,” kata Tidore pelan. Pandangannya beralih pada tempat tisu  bergambar wayang.
              “Kau belum menjawab pertanyaanku di kafe tadi.”
              “Tentang apa?”
              Percakapan terhenti karena pramusaji datang membawa pesanan mereka. Aroma kacang tanah perlahan menguap ke udara. “Ini untuk kelima kalinya aku mengajukan pertanyaan yang sama. Aku seperti orang bodoh dengan menyodorkan pertanyaan yang sama terus menerus kepadamu, Tidore. Untuk terakhir kalinya: apakah kau akan pulang? Jangan berputar-putar!” Narissa berkata tegas setelah pramusaji itu meninggalkan mereka.
              Tidore menatap poni rambut Narissa. Butir-butir keringat menghiasi keningnya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari jaketnya, menyodorkan kepada Narissa, “Wajahmu kelihatan jelek tanpa riasan, “ kata Tidore setengah berkelakar.
              “Jawab pertanyaanku!” sergah Narissa tak menggubris sapu tangan yang disodorkan Tidore. Lelaki yang duduk di hadapannya menarik nafas pendek, menaruh sapu tangan itu di pinggir meja, kemudian membuang pandang ke luar jendela. Seorang pedagang tua India yang mengenakan pakaian tradisionalnya berwarna kuning terang memusatkan perhatiannya. Pedagang itu menawarkan guci antik kepada tiga turis asing yang melintas.
              “Aku ke Indonesia besok dengan pesawat pagi,” kata Tidore lambat-lambat seakan bimbang mengucapkannya.
              Narissa tertegun. Tak percaya. “Selamanya?”
              “Selamanya.”
              Kebenaran tampak menyala di wajah lelaki Indonesia yang duduk di hadapan Narissa. Menggelantung di pelupuk mata Narissa pertengkaran hebatnya dengan orang tuanya karena seorang lelaki berambut ikal pekat yang sekarang menekan-nekan pinggir meja dengan telunjuknya. Seolah lelaki itu hendak membenamkan riwayat cintanya dengan perempuan Amerika Utara ke dalam tanah. Orang tua Narissa tak menginginkan menantu imigran. Narissa meninggalkan rumah, tinggal sendiri di flat sederhana dan sekarang bekerja di binatu. Demi Tidore.
              Pertemuan pertamanya dengan Tidore terjadi pada suatu malam. Ketika hujan menghanyutkan musim yang paling berkeringat. Narissa yang bekerja sebagai penjaga toko akan menutup tokonya. Seorang lelaki berteriak ke arahnya dengan langkah-langkah cepat di bawah hujan. “Aku mau beli roti. Perutku lapar sekali!”
              “Sudah jam tutup!” Narissa bersikeras setelah lelaki itu berada di sampingnya.
              “Please! Kau tak melihat bibirku yang gemetar menahan lapar?” lelaki itu berkata dalam bahasa Inggris yang gagap.
              Narissa memperhatikan lelaki itu. Matanya berwarna gelap, seperti menyimpan riwayat kehidupan yang sulit tergali siapapun. Tidak berkumis. Rambut ikalnya yang tak beraturan sedikit basah. Bibirnya bergetar hebat, entah menahan lapar atau kedinginan. “Masuklah!” Narissa membuka kembali pintu tokonya. Titik-titik hujan yang melekat di jas hujan lelaki itu menetes, mengotori lantai. Narissa memaki pelan. Lelaki itu mengambil tiga bungkus roti gandum berselai strawberry di rak. Dimakannya sekaligus. Tangannya meraih sebotol air mineral. Ditenggaknya habis.
              “Kau kelihatan seperti orang yang berhari-hari tidak makan apa pun. Kertas roti pun nyaris kau telan,” ujar Narissa, “Kau bukan orang sini. Aku baru melihatmu.”
              Lelaki itu nyengir. Tak dikiranya perempuan itu memperhatikannya. Katanya, “Aku hampir dua minggu di kota ini. Aku tak berani keluar dari kamar flat temanku. Takut dikejar petugas imigrasi.”
              “Kau imigran ilegal?”
              Lelaki itu mengiyakan. Memperkenalkan dirinya. Tidore dari Indonesia. Ia mengeluarkan uang kertas sepuluh dollar dari kantung jas hujannya. Uang itu tampak lecek dan sedikit basah. Diberikannya pada Narissa. Sebelum berbalik, tangannya sempat mencomot sebungkus permen rasa anggur. “Hei, uangmu kurang sepuluh dollar lagi!” teriak Narissa ketika melihat lelaki itu beranjak ke pintu.
              “Bon! Kubayar sisanya setelah mendapat pekerjaan,” balasnya menghilang di balik pintu. Bayangan perawakan tubuhnya yang tinggi melintas di kaca. Ia berjalan cepat ke timur. Menerobos hujan sendirian di jalanan yang senyap.
              Lelaki itu menepati janjinya. Tiga hari kemudian ia datang membayar bon. Aku sudah kerja di pabrik konveksi, katanya. Hampir setiap malam ia pergi ke toko yang dijaga Narissa. Entah membeli makanan, perlengkapan mandi atau sekedar bercengkrama tentang riwayat hidup masing-masing. Narissa menyukai lelaki itu. Mereka pun berkencan. Pernah suatu kali petugas imigrasi menangkap lelaki itu. Ia disuruh memilih didenda lima ribu dollar atau dipenjara lalu dideportasi. Narissa membayarinya denda karena tak mau kehilangan lelaki itu. Ia juga menguruskan visa kerja buat lelaki itu agar tak selalu kucing-kucingan dengan petugas imigrasi.
              “Aku berbuat banyak untuk memperjuangkan hubungan ini,” kata Narissa tercekat. Matanya berair.
              Tidore tak mengatakan apa-apa.
              “Kau sangat mengecewakanku, Tidore.”
              Tidore tidak mengatakan apapun. Ia menyulut rokok kreteknya. Menghisapnya. Asap rokok mengapung di udara. Sunyi. Mata Tidore tertuju bocah negro yang setengah berlari mengejar ibunya. “Ini pilihan sulit bagiku,” katanya kemudian.
              Air mata Narissa langsung jatuh.
              “Kota ini tak pernah ada cahaya. Selalu muram. Aku butuh cahaya, Rissa....”
              “Apakah aku tak bisa menjadi cahayamu?”
              “Maafkan aku.”
              Tidore mematikan rokoknya yang masih setengah di asbak, berdiri kemudian melangkah keluar. Tanpa menoleh lagi ke arah Narissa yang menyeka air matanya.

* * *
             
              Tangis Narissa pecah begitu saja di bawah pepohonan purba Oxygen Street. Berhamburan tiada henti. Angin musim dingin enggan memungut kristal-kristal air mata itu apalagi menyebarkannya ke flat-flat kusam tempat bayangan Tidore menyelinap tadi. Di bawah rerimbunan daun yang sesekali cahaya lampu penerang jalan berhasil menerobos masuk menikam kesuraman Oxygen Street, Narissa memandang lagi potret seukuran postcard yang ditemukannya di Kedai Indonesia. Potret perkawinan Tidore dengan perempuan Indonesia. Kemudian potret yang selembar lagi, bocah lelaki berumur tiga tahunan. Wajahnya persis Tidore.


Amlapura, 1112009.09:27 am

*Komang Widana Putra, penulis tinggal di Amlapura, Bali. Beberapa cerpennya telah dimuat di media cetak terbitan Bali. Baru menyelesaikan pendidikan Sarjana di FKIP Unmas Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar